Artikel Berita Slider 

Rendahnya Tingkat Keselamatan Penerbangan (Komersial) Indonesia

keselamatan penerbangan

Tragedi jatuhnya pesawat Aviastar MV-7503 pada awal Oktober ini bukanlah berita kecelakaan pesawat pertama di Indonesia, atau lebih tepatnya dalam sejarah penerbangan perintis pada dekade ini.

Bulan Agustus lalu, masih di tahun yang sama, dunia penerbangan Indonesia tengah berduka ketika Trigana Air Service Penerbangan 257 mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh kru dan penumpangnya di Papua.

Sebelumnya, sekitar sepuluh bulan yang lalu, Airbus A320-200 yang dioperasikan Indonesia AirAsia QZ8501 jatuh di Laut Jawa dan menewaskan seluruh kru beserta penumpangnya. Melihat maraknya kecelakaan penerbangan di Nusantara, tidak heran jika publik menerka-nerka ‘giliran’ siapakah berikutnya.

“Melihat maraknya kecelakaan penerbangan di Nusantara, tidak heran jika publik menerka-nerka ‘giliran’ siapakah berikutnya”

Tentunya masih teringat ketika Garuda Indonesia dilarang terbang melintasi wilayah udara Eropa pada Juli 2007 hingga kuartal pertama 2010. Larangan terbang yang menampar wajah dunia penerbangan Indonesia ini dikeluarkan oleh Uni Eropa menyusul rentetan kecelakaan penerbangan di Indonesia dengan tingkat korban meninggal dunia (fatalities) yang tinggi, antara lain Adam Air KI-574 yang jatuh di Selat Makassar dan menewaskan seluruh penumpangnya; serta Garuda Indonesia GA-200 yang jatuh ketika mendarat di Bandara Adisutjipto dan menewaskan dua puluh dua penumpangnya.

Uni Eropa mengambil tindakan pencegahan ini setelah European Aviation Safety Agency (EASA) menyimpulkan tingkat keselamatan penerbangan (komersial) Indonesia di bawah standar keselamatan penerbangannya.

Amerika Serikat melalui Federal Aviation Administration (FAA)-nya juga tidak ketinggalan, yaitu dengan menurunkan peringkat keselamatan penerbangan Indonesia dari kategori satu menjadi kategori dua (artinya tidak memenuhi standar) sehingga pesawat terbang yang didaftarkan di Indonesia (registrasi PK) dilarang terbang melintasi wilayah udara Amerika Serikat.

Pencabutan kedua larangan tersebut adalah pekerjaan rumah yang berat bagi Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan reputasi keselamatan penerbangan Indonesia, yang sayangnya hingga kini belum kunjung terselesaikan.

Sudah sekitar delapan tahun rakyat Indonesia menunggu agar keselamatan penerbangan komersial menjadi lebih baik. Sayangnya hal tersebut masihlah merupakan suatu mimpi belaka jika melihat fakta di lapangan, yaitu rentetan kecelakaan penerbangan, serta penilaian International Civil Aviation Organization (ICAO) per-Oktober 2015 melalui Universal Safety Oversight Audit Program Continuous Monitoring Approach (USOAP-CMA).

“Sudah sekitar delapan tahun rakyat Indonesia menunggu agar keselamatan penerbangan komersial menjadi lebih baik. Sayangnya hal tersebut masihlah merupakan suatu mimpi belaka jika melihat fakta di lapangan”

Ada delapan komponen yang menjadi bahan penilaian, yaitu perundang-undangan atau regulasi (legislation), organisasi yang diwakili oleh Kementerian Perhubungan (organization), lisensi dan pelatihan (license), operasi para aktor dalam bisnis penerbangan yang umumnya diwakili maskapai penerbangan (operations), kelaikudaraan (airworthiness), kinerja investigasi kecelakaan penerbangan (aircraft investigation), pelayanan navigasi udara (air navigation services), dan bandar udara (aerodromes).

Nilai 60 (enam puluh) untuk masing-masing komponen dianggap sebagai ‘standar kelulusan’. Mirisnya hingga kini nilai Indonesia masih di bawah ‘standar kelulusan’ (kecuali komponen airworthiness) dan nilai rata-rata dunia. Patut dipertanyakan mengapa delapan tahun berbenah belumlah cukup untuk memperbaiki keselamatan penerbangan Indonesia.

Komponen Nilai rata-rata dunia Nilai Indonesia
Legislation 66.36 31.82
Organization 66.44 20.00
License 71.90 33.30
Operations 66.02 38.41
Airworthiness 74.04 61.38
Aircraft Investigation 54.74 31.48
Air Navigation Services 57.27 51.44
Aerodromes 58.11 44.90

Berkaca dari penilaian ICAO tersebut, sungguh tragis melihat keadaan dunia penerbangan Indonesia di tengah melejitnya bisnis penerbangan di negara ini. Datangnya pesawat-pesawat baru, baik melalui pembelian maupun leasing, logikanya akan disertai dengan pembukaan rute-rute baru dan peningkatan frekuensi pada beberapa rute gemuk (trunk routes) yang sudah ada.

Hal ini berarti semakin banyak penumpang yang terbang tanpa keselamatan penerbangan yang memadai; atau dengan kata lain pemerintah gagal melindungi keselamatan warga negaranya. Bayangkan kerugian negara dalam konteks pembangunan bangsa ketika kehilangan para insinyur, akademisi, dan pengusaha terbaiknya yang notabene cenderung bermobilitas tinggi dalam kecelakaan pesawat terbang.

“Hal ini berarti semakin banyak penumpang yang terbang tanpa keselamatan penerbangan yang memadai; atau dengan kata lain pemerintah gagal melindungi keselamatan warga negaranya”

Di balik maraknya kecelakaan pesawat terbang di Indonesia dan rendahnya nilai USOAP-CMA negara ini, sebenarnya moda transportasi udara adalah salah satu yang teraman di dunia. Tentunya dengan catatan seluruh persyaratan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh ICAO telah dipenuhi seluruh pihak, terutama oleh maskapai penerbangan, pemerintah, bandar udara, dan penyedia jasa navigasi penerbangan sebagai aktor utama.

Bandingkan saja jumlah kecelakaan pesawat terbang komersial pada tahun ini yang ‘hanya’ di bawah sepuluh kasus dengan jumlah kecelakaan mudik Lebaran 2015 yang mencapai sekitar tiga ribu kasus dengan ratusan korban jiwa dalam kurun waktu belasan hari saja.

Jika dikelompokkan berdasarkan negara, kini Indonesia menjadi negara penyumbang kecelakaan pesawat terbang terbanyak dalam satu tahun terakhir, yang tidak ada satupun korban selamat.

Menjadi suatu pertanyaan mengapa kondisi sebaliknya dapat terjadi di Jepang atau beberapa negara Eropa, yang zero accident dapat tercapai sementara tidak demikian di Indonesia. Pabrikan pesawat yang digunakan maskapai-maskapainya toh umumnya juga sama, antara lain Airbus, Boeing, Embraer, dan ATR. Lantas mengapa keadaannya dapat begitu berbeda?

Penegakan hukum (law enforcement) dan kualitas SDM dalam dunia penerbangan Indonesia adalah faktor pembedanya, tepatnya jawaban akan rendahnya tingkat keselamatan penerbangan di negeri ini. Pasca-kecelakaan AirAsia QZ8501 lalu pengumuman nilai USOAP yang masih dibawah standar pada Maret lalu, Kementerian Perhubungan terlihat seperti kebakaran jenggot dengan mengeluarkan rentetan regulasi baru (Keputusan Menteri Perhubungan) terkini guna memperbaiki situasi.

“Penegakan hukum (law enforcement) dan kualitas SDM dalam dunia penerbangan Indonesia adalah faktor pembedanya, tepatnya jawaban akan rendahnya tingkat keselamatan penerbangan di negeri ini”

Pertanyaannya adalah apakah SDM yang tersebar antara lain di Departemen Perhubungan, maskapai-maskapai penerbangan, dan Air Traffic Controller (ATC) siap untuk melaksanakannya. Kalau tidak, segala upaya tersebut hanyalah formalitas atau hitam di atas putih belaka tanpa kemampuan merealisasikannya.

Melejitnya bisnis penerbangan yang padat karya harus diikuti dengan ketersediaan SDM-nya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sepertinya yang terakhir ini belum tercapai dan dibutuhkan usaha lebih keras untuk itu, tepatnya melalui penyelenggaran pelatihan berkala secara rutin dengan materi terkini.

Penegakan hukum adalah benteng terakhir yang kita punya, yang idealnya adalah mencegah kecelakaan (preventif) ketimbang ‘menyembuhkan’ hak keluarga korban (kuratif). Melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang (begitu) diragukan, strategi terbaiknya tidak lain melalui langkah-langkah pro-aktif nan tegas dari Departemen Perhubungan.

Tanpa mengecilkan peran jabatan lain, dapat dikatakan saat ini inspektur penerbangan adalah salah satu ujung tombak dalam upaya peningkatan keselamatan penerbangan kita. Jumlah inspektur penerbangan harus diperbanyak dengan skema kerja yang matang guna menghindari ketidakefektifan.

Pemilihannya harus dilakukan berdasarkan rekam jejak profesional. Mekanisme pengawasan internal harus diperketat, bahkan kalau perlu dibuat mekanisme pengawasan eksternal yang melibatkan warga negara, guna meredam budaya suap (bribe) agar diperoleh hasil laporan inspeksi apa adanya. Logikanya bagaimana mau berbenah kalau laporan inspeksinya saja aspal, iya kan?

Kedua upaya tersebut diharapkan dapat membawa angin segar bagi dunia penerbangan Indonesia. Diharapkan sudah tidak ada lagi cerita miring mengenai cargo masters yang tidak bersertifikat pada beberapa bandar udara perintis di Papua, yakni kargo tidak ditimbang dan dimasukkan asal-asalan sehingga pesawat tidak dapat bermanuver dengan baik pada situasi tertentu, yang disinyalir menjadi salah satu penyebab maraknya kecelakaan pesawat di Papua (Agus Pambagio, Protes Publik Penerbangan Indonesia, 2013).

Berkaca dari kecelakaan joy flight Sukhoi SSJ-100 ketika melintasi Gunung Salak, diperoleh informasi bahwa petugas ATC merasa kewalahan harus bekerja seorang diri menangani pergerakan tiga belas pesawat sehingga baru menyadari hilangnya Sukhoi SSJ-100 dari radar sekitar dua puluh empat menit berselang (Laporan Investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) No. KNKT.12.05.09.04).

“Berkaca dari kecelakaan joy flight Sukhoi SSJ-100 ketika melintasi Gunung Salak, diperoleh informasi bahwa petugas ATC merasa kewalahan harus bekerja seorang diri menangani pergerakan tiga belas pesawat”

Padahal PT. Angkasa Pura II selaku penyelenggara jasa navigasi penerbangan (Air Traffic Service Provider) sudah memiliki peraturan operasional akan jumlah petugas ATC. Lagi-lagi peraturannya sudah ada tetapi implementasinya nol besar.

Banyak faktor yang melatarbelakangi kejadian ini, antara lain apakah jumlah petugas ATC kita sudah ideal, kalau belum apakah memiliki dana untuk menambah jumlah petugasnya, apakah peralatan kerjanya memadai atau sudah ketinggalan zaman, dan sebagainya.

Berhubung lokasi kantor PT. Angkasa Pura II mudah dijangkau, lantas menjadi suatu pertanyaan ke manakah para inspektur yang seharusnya memastikan peraturan-peraturan ini dilaksanakan.

Bagaimana segenap rakyat Indonesia dapat turut membantu?

Kita dapat memanfaatkan perkembangan teknologi guna mengawal upaya peningkatan keselamatan penerbangan Indonesia. Setelah memiliki gambaran akan kondisi terkini, langkah selanjutnya adalah menerjemahkannya dalam bentuk tindakan nyata. Kalau program ‘Kawal Pemilu’ atau ‘Lapor Presiden’ saja dapat dibuat, mengapa kita tidak membuat ‘Kawal Keselamatan Penerbangan Indonesia’ atau semacamnya?

Telah tiba saatnya bagi masyarakat sipil untuk bahu-membahu menciptakan sistem pengawalan sebagai wujud pengawasan eksternal. LBH, kepolisian, dan lembaga perlindungan konsumen dapat diajak berperan aktif melindungi para pekerja dalam industri penerbangan ketika melaporkan suatu ‘ketidakberesan’ pada perusahaan atau lingkungannya (whistleblower).

“Telah tiba saatnya bagi masyarakat sipil untuk bahu-membahu menciptakan sistem pengawalan sebagai wujud pengawasan eksternal”

Ide citizen journalism yang beberapa tahun lalu sempat populer di saluran berita nasional juga merupakan salah satu alternatif untuk dihidupkan kembali. Sekaranglah saatnya untuk merealisasikan ide-ide tersebut!

Pada akhirnya, mengingat caruk-maruknya keselamatan dunia penerbangan kita, diperlukan kemauan politik (political will) pemerintah untuk mengatasi kondisi ini mengingat (penegakan) hukum adalah produk politik.

Semoga jeritan masyarakat demi keselamatan penerbangan yang lebih baik di Indonesia tidak tenggelam oleh isu-isu hangat saat ini, terutama di tengah fokusnya pemerintah membenahi dan mereformasi moda transportasi laut.

 

Oleh : Ridha Aditya Nugraha
Anggota German Aviation Research Society

Sumber artikel : https://www.selasar.com/politik/rendahnya-tingkat-keselamatan-penerbangan-komersial-indonesia

Related posts