Refund sebagai bentuk tanggung jawab hukum Maskapai Penerbangan
1. PENDAHULUAN
Kegiatan transportasi memegang peranan penting dalam pergerakan manusia saat ini. Selain harga, efisiensi waktu serta tingkat kenyamanan menjadi faktor yang sangat penting bagi pengguna alat transportasi untuk memilih alat transportasi yang akan dipergunakan.Meningkatnya jumlah pengguna alat transportasi udara dari tahun ke tahun menjadi bukti bahwa semakin hari jenis alat transportasi udara semakin menjadi pilihan bagi para pengguna alat transportasi. Salah satu data yang menunjukkan hal ini adalah meningkatnya jumlah pengguna alat transportasi udara selama liburan Idul Fitri tahun 2015 dibandingkan tahun sebelumnya,yaitu sebesar 8, 83%.
Peningkatan jumlah penumpang dari tahun ke tahun tentunya perlu diimbangi dengan perbaikan layanan baik pada tahap sebelum penerbangan, pada saat penerbangan, maupun setelah penerbangan (pre-in-post). Secara alami, seiring dengan bertambahnya pilihan perusahaan penyedia jasa penerbangan, para penyedia jasa penerbangan berlomba-lomba untuk meningkatkan layanan kepada para penggunanya. Meskipun demikian, pemerintah tetap berupaya mendorong peningkatan layanan penerbangan. Wujud upaya tersebut terlihat denganditerbitkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia (“PM 89/2011”), yang menggantikan ketentuan mengenai delay management yang diatur sebelumnya di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara jo. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan MenteriPerhubungan Nomor PM 77 tahun 2011 tentang Tanggung JawabPengangkut Angkutan Udara (“PM 77/2011”).Sebagaimana tertuang dalam pertimbangan PM 89/2015, lahirnya PM 89/2015 adalah demi memberikan perlindungan serta pelayanan penumpang angkutan udara niaga berjadwal.
Menjadi hal yang perlu juga kita perhatikan adalah apakah ketentuan mengenai penanganan dalam hal terjadinya keterlambatan penerbangan ataupun pembatalan penerbangan sudah memberikan kepastian hukum bagi perusahaan penyedia jasa penerbangan? Khususnya keterlambatan (delay) atau pembatalan (cancellation) yang terjadi karena terjadinya hal-hal yang diluar jangkauan perusahaan penerbangan itu sendiri, seperti penutupan bandara karena adanya aktifitas kenegaraan atau alasan lainnya, termasuk karena adanya faktor alam seperti aktifitas gunung berapi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena tentunya perusahaan penerbangan memerlukan kepastian hukum atas tanggung jawab hukum dalam menjalankan usaha pelayanan jasa penerbangan.
2. DELAY & CANCELLATION
Definisi Keterlambatan Penerbangan (delay) berdasarkan PM 89/2015 adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan. PM 89/2015 menambahkan juga pengertian Pembatalan Penerbangan (cancellation of flight), yang sebelumnya tidak didefinisikan secara tegas dalam PM77/2011, yaitu tidak beroperasinya suatu penerbangan sesuai rencana penerbangan yang telah ditentukan.
Berdasarkan Pasal 5 PM 89/2015, hal-hal yang menyebabkan keterlambatan penerbangan meliputi:
- Faktor manajemen airline;
- Faktor teknis operasional;
- Faktor cuaca; dan
- Faktor lain-lain.
Faktor manajemen airline adalah faktor yang muncul karena disebabkan oleh maskapai penerbangan, seperti:
- keterlambatan pilot, co pilot dan awak kabin;
- keterlambatan jasa boga;
- keterlambatan penanganan di darat;
- menunggu penumpang, baik yang baru melapor, pindah pesawat atau penerbangan lanjutan; serta
- ketidaksiapan pesawat udara
Faktor teknis operasional dapat disebabkan oleh:
- a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan
operasional pesawat udara;
- b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya;
- c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off),
mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slotime) di bandar udara; atau
- d. keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling)
Sedangkanfaktorcuacameliputihujan, banjir, petir, badai, kabut, asap, jarakpandang di bawahstandar minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan.Halyang menarik adalah dengan munculnya faktor lain-lain, yaitu apabila terjadi (antara lain) kerusuhan dan/atau demonstrasi di wilayah Bandar udara, yang beberapa waktu terakhir kerap kali dilakukanoleh para demonstran di beberapa wilayah di Indonesia.
3. BENTUK TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN
Pasal 6 PM 89/2015 secara tegas mewajibkan maskapai penerbangan untuk bertanggung jawab hanya untuk keterlambatan yang disebabkan oleh faktor manajemen airlines dan membebaskan maskapai penerbangan dari tanggung jawab atas ganti kerugian bilamana terjadi keterlambatan penerbangan karena faktor-faktor lainnya.
Penumpang yang telah melakukan pembayaran tiket tentunya berhak memiliki perlindungan secara hukum, khususnya dalam hal terjadi keterlambatan ataupun pembatalan penerbangan yang mungkin terjadi, khususnya apabila terjadi karena faktor dari pihak maskapai penerbangan itu sendiri. Oleh karena itu, Pasal 7 PM 89/2015 mendorong maskapai penerbangan untuk secara aktif menginformasikan mengenai keterlambatan ataupun kemungkinan keterlambatan sesegera mungkin kepada penumpang.
Bentuk kompensasi dan ganti rugi dalam hal terjadi keterlambatan atau pembatalan penerbangan secara detil dijabarkan dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 11 dari PM 89/2015. Di dalam Pasal 9 PM 89/2015 disebutkan bahwa kompensasi& ganti rugi adalah sebagai berikut:
- Minuman ringan untuk keterlambatan 30-60 menit;
- Minuman & makanan ringan untuk keterlambatan 61-120 menit;
- Minuman dan makanan berat untuk keterlambatan 121-180 menit;
- Minuman, makanan ringan dan makanan berat untuk keterlambatan 181-240 menit;
- Ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu Rupiah) untuk keterlambatan lebih dari 240 menit
- Mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund) bilamana penerbangan dibatalkan.
4. IMPLEMENTASI PEMBERIAN FULL REFUND TICKET SEBAGAI BENTUK TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN
Pasal 9 dan Pasal 10 PM 89/2015 mengatur bahwapengembalian seluruh biaya tiket (refund ticket) diberikan dalam hal terjadi pembatalan penerbangan dalam bentuk tunai maupun transaksi non-tunai (apabila pembelian tiket dilakukan melalui kartu kredit). Selain itu refund ticket juga bisa dijadikan opsi yang dapat ditawarkan kepada penumpang yang
mengalami keterlambatan 61-240 menit (kategori 2 sampai dengan kategori 5).Namun demikian, menurut penulis terdapat potensi munculnya perdebatan di lapangan terkait dengan ketentuan mengenai refund yang diatur dalam PM 89/2015, khususnya apabila pembatalan penerbangan yang terjadi karena alasan yang bukan merupakan faktor manajemen airlines.
Pada prakteknya di lapangan, dalam hal terjadi penundaan atau pembatalan penerbangan karena faktor teknis operasional maupun faktor cuaca, banyak penumpang lebih memilih melakukan refunddaripada dialihkan ke penerbangan berikutnya, terlebih lagi apabila tidak terdapat kepastian kapan akan diterbangkan, seperti yang terjadi ketika ada aktifitas gunung berapi yang beberapa kali terjadi tahun 2015 ini. Menjadi pertanyaan adalah apakah maskapai penerbangan wajib meluluskan permintaan refundsecara penuh tersebut? padahal ada ketentuan refund yang sudah disepakati antara penumpang dengan maskapai penerbanganAtau dengan kata lain, apakah maskapai penerbangan berhak menolak permintaan refundsecara dalam keadaan tersebut atau bahkan apakah maskapai penerbangan berhak menolak permintaan refund samasekali?
Sebagaimana diuraikan di atas, PM 89/2015 hanya mewajibkan maskapai penerbangan mengganti kerugiandalam bentuk refundapabila pembatalan terjadi karena alasan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, yaitu faktor manajemen airlines,padahal keterlambatan atau
pembatalan penerbangan yang terjadi adalah karena faktor teknis operasional dan/atau faktor cuaca.
Penulis dapat memahami apabila beberapa pendapat yang muncul menyatakan bahwa hal tersebut merupakan risiko usaha dari pihak maskapai penerbangan, namun perlu juga kita melihat bahwa dalam hal ini perlu adanya kepastian hukum bagi maskapai penerbangan.
Kemudian, apabila maskapai penerbangan meluluskan permintaan refundsecara penuh dalam kondisi tersebut, maka maskapai penerbangan akan menanggung bebantambahan, bukan hanya kehilangan potential revenue, namun juga biaya lain yang muncul seperti menyiagakan sumber daya manusia (baik di bandar udara, awak pesawat, tenaga operasional dll), menyediakan alat transportasi tambahan untuk mengangkut penumpang, maupun biaya lain yang tidak secara nyata terlihat seperti dampak dari dilakukannya rotasi pesawat (biasanya menyediakan pesawat dengan ukuran lebih besar) atau dampak finansial dariutilisasi pesawat yang tidak maksimal.
Terlepas dari pertimbangan aspek biaya tersebut di atas, menurut penulis perlu adanya kepastian dan pedoman lebih lanjut dari implementasi pemberiankompensasi dan ganti rugi, khususnya dalam hal pemberian refund secara penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 PM 89/2015.
Oleh Dovy B. Hanoto (Senior Associate Nurjadin Sumono Muljadi & Partners)