Artikel Berita 

Larangan Penggunaan Mata Uang Asing Pada Industri Penerbangan

Dalam rangka mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah dan melaksanakan ketentuan Undang-Undang  No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Undang-Undang Mata Uang), Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tanggal   31 Maret 2015 dan Surat Edaran No. 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah Di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Peraturan Bank Indonesia). Pembahasan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah saat ini menjadi topik hangat di Masyarakat Indonesia karena memiliki dampak yang cukup signifikan bagi beberapa sektor usaha, termasuk pada sektor penerbangan yang selama ini memang masih banyak bertransaksi dengan valuta asing.

Kewajiban penggunaan Rupiah telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009) dan Undang-Undang Mata Uang. Namun demikian, sampai saat ini mata uang asing masih digunakan dalam transaksi yang dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan penafsiran resmi Kementerian Keuangan atas Undang-Undang Mata Uang terutama penafsiran atas Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Mata Uang.

Sebagaimana diketahui, Pasal 23 Undang-Undang Mata Uang melarang siapapun untuk menolak menerima pembayaran dalam Rupiah dimana pembayaran tersebut dilakukan sehubungan dengan pembayaran atau penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dalam Rupiah dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Indonesia, kecuali dalam hal (i) terdapat keraguan atas keaslian Rupiah atau (ii) pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam mata uang asing telah diperjanjikan secara tertulis.

Sehubungan dengan perjanjian tertulis yang disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Mata Uang, perjanjian tertulis tersebut ditafsirkan sebagai perjanjian yang dibuat sebelum dan/atau sesudah diterbitkannya Undang-Undang Mata Uang. Dengan demikian, setiap perjanjian tertulis yang menyebutkan pembayaran dalam mata uang asing, mungkin dapat memenuhi ketentuan pengecualian dalam penggunaan mata uang asing dalam suatu transaksi. Meskipun penafsiran Kementerian Keuangan ini tidak diterbitkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan, penafsiran ini dipergunakan oleh banyak praktisi hukum dan pelaku usaha lainnya sebagai pedoman atas beberapa ketentuan Undang-Undang Mata Uang.

Oleh karena mata uang asing masih digunakan dalam transaksi, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberlakukan pembatasan yang lebih ketat untuk penggunaan mata uang asing dari yang diatur dalam Undang-Undang Mata Uang. Pembatasan ini mencakup larangan pelaku usaha untuk mencantumkan harga barang dan jasa dalam mata uang asing serta kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi non-tunai yang tidak dikecualikan, termasuk transaksi yang menggunakan pembayaran elektronik dan transfer bank.

Peraturan Bank Indonesia juga mengatur secara tegas bahwa perjanjian tertulis untuk pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam mata uang asing hanya dapat dilakukan untuk (i) transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan (ii) proyek infrastruktur strategis dan mendapat persetujuan Bank Indonesia. Namun demikian, untuk perjanjian tertulis mengenai pembayaran dalam mata uang asing yang telah dibuat sebelum tanggal 1 Juli 2015 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

Terkait dengan industry penerbangan, kewajiban penggunaan mata uang Rupiah ini dapat menimbulkan permasalahan bagi pelaku usaha penerbangan terutama maskapai penerbangan dan perusahaan perawatan pesawat terbang. Sebagaimana diketahui, sebagian besar dari pengeluaran di bidang penerbangan dibayarkan dalam mata uang asing (seperti Dolar Amerika Serikat) seperti biaya bahan bakar pesawat, biaya sewa pesawat, asuransi dan biaya suku cadang.

Dengan berlakunya ketentuan penggunaan mata uang Rupiah, maskapai penerbangan harus mengenakan tarif dalam mata uang Rupiah kecuali untuk pembelian tiket yang dilakukan di luar Indonesia oleh pihak asing. Lebih lanjut, perusahaan perawatan pesawat terbang juga dapat mengalami kesulitan bila tidak dapat mengenakan biaya jasa perawatan dan pemeliharaan pesawat dalam mata uang asing. Hal ini dikarenakan perusahaan perawatan pesawat terbang memerlukan suku cadang yang seluruhnya masih diimpor yang harus dibayarkan dalam mata uang asing.

Walaupun dampak dari ketentuan ini belum jelas, kami menyarankan kepada para pelaku usaha khususnya di sektor penerbangan untuk mulai menyusun langkah-langkah dalam memitigasi risiko yang mungkin timbul akibat perubahan transaksi dari mata uang asing ke Rupiah, termasuk melakukan konsultasi dengan Bank Indonesia untuk mendapatkan kebijakan Bank Indonesia yang dapat mengatasi masalah dalam penggunaan mata uang Rupiah dan melakukan transaksi hedginguntuk mengantisipasi risiko atas fluktuasi nilai mata uang Rupiah.

Harap dicatat Peraturan Bank Indonesia menyebutkan bahwa dalam hal terdapat permasalahan bagi pelaku usaha dengan karakteristik tertentu terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi non-tunai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan kewajiban penggunaan Rupiah.

 

—–

Oleh Tasdikiah Siregar/Muhammad Ikhsan

Related posts