Artikel Slider 

Kepemilikan Saham Asing dalam Maskapai Penerbangan Komersial di Indonesia

Penerbangan komersial di Negara Republik Indonesia sangat digemari oleh masyarakat sebagai sarana transportasi masal yang menjadi penghubung antar daerah, terutama disebabkan karena kondisi geografis Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Meningkatnya jumlah penumpang juga turut meningkatkan upaya maskapai penerbangan komersial dalam memperbanyak rute penerbangan domestik yang dapat menjangkau daerah – daerah serta pulau – pulau di Negara Republik Indonesia. Selain itu, pemerintah Negara Republik Indonesia saat ini juga sudah memulai program pengembangan pembangunan lapangan udara di daerah-daerah yang sebelumnya tidak memiliki lapangan udara atau sudah memiliki lapangan udara namun kurang layak.

Meningkatnya jumlah penumpang transportasi udara menyebabkan penetrasi industri penerbangan sipil berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan industri penerbangan yang cukup pesat ini mencuri perhatian para investor (termasuk investor asing) untuk turut berpartisipasi dalam kancah persaingan industri penerbangan di Indonesia, khususnya angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dengan rute penerbangan domestik.

Asas Cabotage dan Eksistensi Modal Asing Dalam Maskapai Penerbangan Sipil di Indonesia

Keberadaaan unsur modal asing dalam suatu maskapai penerbangan Indonesia bersinggungan dengan asas cabotage. Asas cabotage adalah suatu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1994, yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia, dimana asas cabotage tersebut menyebutkan bahwa masing-masing negara peserta konvensi tersebut memiliki hak untuk menolak memberikan izin kepada pesawat milik negara lain yang juga merupakan peserta konvensi tersebut untuk terbang di wilayahnya, dalam rangka mengambil penumpang, pos dan kargo dengan mendapat bayaran atau sewa dan menuju titik lain di dalam wilayah negara tersebut.

Dengan adanya prinsip tersebut, pesawat udara komersial asing tidak diizinkan untuk terbang dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk mengangkut dan menurunkan penumpang, pos dan kargo, kecuali sebelumnya telah mendapatkan izin dari pemerintah Republik Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 84 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) yang menyatakan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa hanya maskapai penerbangan nasional yang dapat melakukan usaha niaga dengan rute domestik di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Asas cabotage tersebut di atas yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap keputusan investor asing untuk melakukan penyertaan saham dalam suatu maskapai penerbangan Indonesia dalam bentuk badan usaha nasional.

 

Apa yang dapat dilakukan investor asing?

Untuk dapat melakukan investasi dan penyertaan modal dalam suatu maskapai penerbangan di Negara Republik Indonesia, investor asing harus mendirikan badan usaha nasional di bidang angkutan udara niaga dengan memperhatikan ketentuan yang ada, yang antara lain adalah: (i) Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penamanan Modal”), (ii) UU Penerbangan, dan (iii) Peraturan Menteri Perhubungan No. 45 tahun 2015 tentang Persyaratan Kepemilikan Modal Badan Usaha di Bidang Transportasi (“PM 45/2015”).

Yang dimaksud dengan badan usaha nasional dalam UU Penerbangan adalah badan usaha dengan seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

Sedangkan, UU Penamanan Modal menjelaskan bahwa Penanaman Modal Asing adalah suatu kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Untuk pendirian badan usaha nasional, terdapat batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan diperhatikan dalam kaitannya dengan modal asing.  Hal ini akan diterangkan lebih lanjut dalam pembahasan di bawah ini.

 

Bentuk badan usaha apa yang disyaratkan?

Menteri Perhubungan telah menerbitkan suatu peraturan mengenai penyelenggaraan angkutan udara yang mensyaratkan bahwa kegiatan angkutan udara niaga hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara yang berbentuk Perseroan Terbatas, yang dalam hal ini diwajibkan agar seluruh atau sebagian besar modal Perseroan Terbatas tersebut dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

Hal tersebut merupakan salah satu syarat untuk Menteri dapat menerbitkan izin usaha angkutan udara niaga melalui Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Salah satu persyaratan untuk permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah bahwa pemohon melampirkan akta pendirian perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Syarat bahwa bentuk badan usaha angkutan udara harus berbentuk Perseroan Terbatas tersebut selaras dengan UU Penanaman Modal, yaitu bahwa penanaman modal asing wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

 

Berapa kepemilikan saham yang diizinkan?

Investasi modal asing dalam bentuk kepemilikan saham dalam bidang usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia juga harus mencermati ketentuan mengenai bidang usaha atau jenis usaha yang terbuka, tertutup atau terbuka dengan persyaratan bagi kegiatan penanaman modal asing sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Daftar Negatif Investasi”).

Berdasarkan lampiran Daftar Negatif Investasi, penyertaan modal asing untuk kegiatan pada bidang usaha angkutan usaha niaga berjadwal dalam negeri hanya mendapatkan porsi sebesar maksimal 49% dan komposisi modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority). Hal ini selaras dengan UU Penerbangan yang mensyaratkan bahwa kegiatan angkutan udara niaga harus dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional dengan seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Tidak menutup kemungkinan apabila badan usaha tersebut terdiri dari beberapa penanam modal, maka salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing.

 

Berapa minimal modal yang harus diinvestasikan oleh investor asing?

Untuk melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal, para investor asing juga harus memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan modal berdasarkan PM 45/2015 yakni bahwa suatu badan usaha angkutan udaraharus:

  1. memiliki modal disetor paling sedikit Rp. 500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), untuk angkutan udara niaga berjadwal yang menggunakan tipe pesawat udara terbesar dan saling menunjang dengan kapasitas lebih dari 70 (tujuh puluh) tempat duduk; dan
  1. memiliki modal disetor paling sedikit Rp. 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah), untuk angkutan udara niaga berjadwal yang menggunakan tipe pesawat udara terbesar dan saling menunjang dengan kapasitas kurang dari 70 (tujuh puluh) tempat duduk.

 

Selain dari PM 45/2015 diatas, dalam penanaman modal asing di bidang angkutan udara niaga harus pula memperhatikan ketentuan syarat nilai investasi dan permodalan sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Koordinasi Penamanan Modal No. 13 tahun 2017 yang merujuk pada UU Penamanan Modal, yaitu bahwa:

  1. total investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), diluar tanah dan bangunan;
  2. nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor, paling sedikit Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
  3. penyertaan dalam modal perseroan, untuk masing-masing pemegang saham paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

 

Dengan melihat persyaratan permodalan dan investasi diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia memiliki kualifikasi sebagai usaha besar yang mana dibutuhkan modal yang tidak sedikit jumlahnya.

Dengan demikian, jika semakin banyak investor asing yang sanggup untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang diwajibkan untuk bidang usaha angkutan udara niaga dan berhasil beroperasi di wilayah domestik Indonesia dengan meraup pangsa pasar yang besar, maka maskapai penerbangan lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitasnya terlebih di bidang sumber daya manusia, teknologi dan rute penerbangan untuk mampu menjadi penyeimbang yang baik.

Oleh: Astri Soekotjo
(Wiriadinata & Saleh)

————–

[1]Pasal 7 Convention on International Civil Aviation: “Each contracting State shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting States to take on in its territory passengers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each contracting State undertakes not to enter into any arrangements which specifically grant any such privilege on an exclusive basis to any other State or an airline of any other State, and not to obtain any such privilege from any other State.

[1] PM 45/2015 yang mengatur mengenai kepemilikan modal Regulated Agent dan Known Consignor  telah dicabut dengan Peraturan Menteri No. 53 tahun 2017 tentang Pengamanan Kargo dan Pos serta Rantai Pasok (Supply Chain) Kargo dan Pos yang Diangkut dengan Pesawat Udara.

[1] Pasal 108 ayat (2) UU Penerbangan.

[1] Pedoman mengenai penyelenggaraan angkutan udara dapat dilihat melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 25 tahun 2008, sebagaimana terakhir diubah dengan  Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 38 tahun 2017.

[1] Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal.

 

Related posts