Kejujuran Dalam Penerbangan
Sungguh memprihatinkan dan sangat menyedihkan. Kecelakaan pesawat militer bertubi-tubi terjadi dalam kurun waktu singkat merenggut nyawa-nyawa anak bangsa terbaik yang telah dididik mahal dan memiliki ketrampilan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penerbangan pesawat sipil pun terjadi lagi berbagai insiden. Demikian juga kereta api dan kapal laut. Ada apa dengan pesawat militer kita? Ada apa dengan penerbangan kita? Ada apa dengan transportasi kita?
METODE PENCEGAHAN
Meskipun pesawat militer dalam Konvensi Chicago dikatagorikan sebagai pesawat negara dan dibedakan dari pesawat sipil, namun demikian metode yang harus dilakukan dalam pencegahan kecelakaan pesawat adalah sama dengan dengan metode yang dianjurkan bahkan diwajibkan oleh ICAO. Metode pencegahan kecelakaan yang berlandaskan pada teori-teori yang berkembang dalam dunia ilmiah penerbangan saat ini dan diadopsi dalam kebijakan ICAO harus dilakukan juga oleh penerbangan militer.
Metode teknologi dan regulasi telah berhasil menurunkan angka kecelakaan pesawat sipil secara signifikan hingga tahun 1975. Setelah tahun 1975 angka kecelakaan, meskipun rendah, tidak dapat diturunkan lagi dengan kedua metode tersebut. Teknologi yang makin canggih dan regulasi yang makin ketat, telah mencapai titik jenuh dan memerlukan metode lain dalam upaya pencegahan kecelakaan pesawat.
ICAO kemudian memutuskan membuat metode baru disamping kedua metode tersebut. Metode yang dijadikan kebijakan ICAO dan harus dilaksanakan oleh negara peserta ICAO, termasuk Indonesia, adalah metode analisis insiden, dituangkan dalam Doc 9422 Accident Prevention Manual. Setiap insiden harus dilaporkan untuk dianalisis dan kemudian ditetapkan langkah-langkah pencegahan kecelakaan pesawat.
Kebijakan ini ditetapkan berdasarkan paradigma bahwa kecelakaan pesawat adalah akumulasi dari insiden-insiden yang dibiarkan. Dalam teori dikatakan bahwa dari 600 insiden akan terjadi 30 kecelakaan biasa, 20 kecelakaan serius dan 1 kecelakaan fatal. Setiap insiden pesawat harus diinvestigasi dengan tujuan bukan untuk menyalahkan (blame) tapi untuk dijadikan bahan pembelajaran (lesson learnt) dalam rangka mencegah kecelakaan serupa terulang kembali.Dengan demikian maka keberhasilan pencegahan kecelakaan pesawat adalah sangat tergantung pada pelaporan insiden.
WAJIB LAPOR
Maukah pelaku melaporkan dan berkata jujur tentang apa yang terjadi dalam kecelakaan atau insiden yang telah dilakukannya? Adalah manusiawi untuk menutupi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh individu, karena rasa malu dan gengsi apalagi bila ada ancaman hukuman pidana. Oleh karena itu pada tahap awal program pelaporan insiden ini masih berifat sukarela dan anonim. Sudah tentu jumlah pelaporan sukarela tersebut sangat terbatas. Banyak insiden-insiden yang disembunyikan karena berbagai alasan tersebut di atas.
Untuk mengembangkan budaya lapor (reporting culture) ini masyarakat penerbangan internasional dan ICAO mengajukan konsep just culture dimana pelaku-pelaku insiden tidak dihukum kecuali bila memang ada perilaku yang tidak bisa diterima (unacceptable behavior). ICAO dalam salah satu strategi Global Aviation Safety Plan yaitu Effective Errors And Incident Reporting Systems meminta agar negara merubah Undang-Undang Penerbangan dengan memasukan prinsip-prinsip just culture.
Di Denmark misalnya, insiden yang dilaporkan hanya 15 insiden per tahun, namun setelah kewajiban dan perlindungan terhadap laporan insiden dimasukkan dalam Undang-Undang, insiden yang dilaporkan ada 980. Hampir tabrakan di udara (near-miss) dari 15 kali menjadi 50 per tahun. Kasus di Denmark ini menunjukkan betapa banyak insiden penerbangan yang selama ini disembunyikan, tidak dilaporkan dan tidak diinvestigasi.
SEMUA HARUS JUJUR
Agar insiden yang telah terjadi dilaporkan oleh pelaku dengan data yang lengkap, maka harus diciptakan kondisi dimana pelaku insiden tidak diancam hukuman. Harus ada kondisi dimana kejujuran didorong dan dikembangkan, dimana kejujuran sangat dihargai, ada suasana penuh kepercayaan (an atmosphere of trust in which people are encourage, even rewarded, for providing essential safety-related information). Di negara kita keharusan membuat laporan dan perlindungan terhadap pelapor telah dituangkan dalam Undang-Undang Penerbangan No.1 tahun 2009 dalam pasal 321.
Masalahnya kini adalah apakah semua jajaran penerbangan dari tingkat tenaga operasional hingga pimpinan puncak sudah memahami dan siap dengan berperilaku sesuai budaya lapor (reporting culture)?. Bila tenaga di ujung tombak, penerbang, mekanik, ATC dan lain lain siap memberikan laporan setiap insiden sebagaimana diamanahkan ICAO dan Undang-Undang Penerbangan, apakah pimpinan lini siap menerima laporan- laporan insiden? Apakah tim investigasi siap meneliti serta menganalisis dengan model penelitian yang benar, yang dianjurkan ICAO, sehingga diketahui latent failures dari insiden tersebut yaitu keputusan-keputusan pimpinan yang keliru disamping active failures yang berkaitan dengan kekeliruan tenaga operasional? Siapkah melaporkan temuan latent failures tersebut ke atasan? Tidak adakah rasa khawatir dicopot oleh pimpinan puncak ketika menyampaikan laporan tersebut?
Apakah pimpinan puncak siap berperilaku dengan berkata: I would like rather know the incidents than punish the offender? Apakah pimpinan puncak mau dengan jujur menerima semua laporan insiden dan kemudian mau melaksanakan semua rekomendasi hasil investigasi insiden yang berkaitan dengan latent failures? Mau melakukan perbaikan sistem? Mau memperbaiki keputusan-keputusan pimpinan yang keliru?
Kejujuran yang diharapkan tumbuh dalam diri tenaga operasional penerbangan untuk melaporkan dan berkata benar tentang apa yang terjadi dalam setiap kecelakaan atau insiden harus disertai dengan kejujuran pimpinan lini dan puncak untuk mau menganalisis insiden dan mau menerima dengan lapang dada temuan latent failures dan kemudian mau memperbaiki kekeliruan dalam sistem sesuai dengan rekomendasi hasil investigasi.
Dalam referensi ilmiah penerbangan, negara Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki kultur dengan power distance yang sangat tinggi yaitu ada jarak yang besar antara junior dan senior. Junior sangat menghormati senior dan takut untuk memberikan masukan. Senior tidak mau dikritik dan sering mengabaikan masukan junior. Copilot berpikir lama dan mencari kata-kata yang sopan untuk menegur Captain Pilot yang melakukan kekeliruan, meskipun kedua-duanya telah mengikuti pelatihan CRM (Cockpit Resources Management) yang berupaya menghilangkan power distance yang tinggi.
Bila kultur power distance yang tinggi ini masih bersemayam dalam insan-insan operasional dan pimpinan penerbangan Indonesia, sipil maupun militer, maka investigasi kecelakaan maupun insiden pesawat, tidak akan efektif sebagai metode pencegahan kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat akan terus terjadi.
BISAKAH?
Bisakah insan penerbangan di berbagai lapisan bersikap dan berperilaku jujur? Jujur dalam melaporkan setiap insiden, jujur dalam menerima laporan dan menganalisis insiden, jujur dalam menerima rekomendasi hasil penelitian insiden dan jujur melaksanakan perbaikan sesuai rekomendasi tersebut?
Nilai yang terkandung dalam budaya lapor (reporting culture) adalah kejujuran. Penerbangan harus dikelola dengan penuh kejujuran. Penerbangan adalah industri yang termasuk dalam katagori complex socio-technical system yang memerlukan koordinasi dan interaksi yang akurat dari banyak tenaga profesional dan beragam komponen teknologi yang bila tidak dikelola dengan jujur maka yang akan terjadi adalah bencana besar (catastrophes).
Dari landasan teori yang diadopsi dalam kebijakan ICAO tersebut di atas maka bila di suatu negara banyak terjadi kecelakaan pesawat, bahkan bertubi-tubi, hipotesisnya adalah penerbangan di negara tersebut belum dikelola dengan jujur (demikian juga pelayaran serta transportasi darat lainnya). Hipotesis ini tentunya perlu dibuktikan melalui penelitian yang juga jujur.
(Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia, tanggal 18 Juni 2009 dan menjadi salah satu bab dalam buku “KESELAMATAN PENERBANGAN, TEORI DAN PROBLEMATIKA”, Edisi 1 dan Edisi 2).
Penulis : DR. Yaddy Supriyadi, S.H., M.M., SSiT